Unknown 12 Comments Keberadaan Situs Makam Wali Pitu di Bali dan pariwisata sangat erat sekali karena Pulau Bali sudah terkenal sebagai daerah tujuan pariwisata. Sejak zaman dahulu arus wisatawan terus berdatangan ke Pulau Bali baik wisatawan domestik maupun mancanegara, sebagian juga pasti terdapat wisatawan muslim. Dibawah ini saya akan paparkan 7 makam Wali Negara & Datuk Lebai-Melayu, Habib Ali Bin Umar Bafaqih KH. Habib Ali Bafaqih wafat pada tahun 1997 pada usia 107 tahun. Karena perjuangan dan kegigihanya untuk menyebarkan atau mensyiarkan agama Islam dan juga ketinggian ilmunya maka beliau dianggap sebagai salah satu “Wali Pitu” yang ada di Bali. Karangrupit, The Kwan Lie, Syech Abdul Qodir Muhammad Makam yang terkenal dengan sebutan Keramat Karang Rupit ini milik seorang muslim asal Cina bernama asli The Kwan Pao-Lie, disingkat The Kwan Lie, yang bergelar Syekh Abdul Qadir Muhammad. Bukit Bedugul, Syeh Habib Umar Bin Maulana Yusuf Al-Maghribi Pada tahun 1963 M waktu Gunung Agung meletus yang mana mengeluarkan lahar panas menyemburkan batu-batu besar dan kecil serta abu ke atas menjulang tinggi di angkasa memporak-porandakan Bali hingga sampai ke wilayah Jawa Timur. Namun anehnya kuno milik Syeikh Maulana Yusuf Al Baghdi Al Maghribi tetap tak berubah walaupun hanya berasal dari tumpukan batu merah yang tidak diperkuat dengan adanya semen bahkan tidak ada sebutir pasir yang menyentuh makam tersebut. Kembar Karangasem, Habib Ali Bin Zaenal Abidin Al-Idrus dan Syeh Maulana Yusuf Al-Baghdi Di dalam satu cungkup makam kembar tersebut terdapat makam tua/kuno berjajar dengan makam Ali bin Zainal Abidin al-Idrus. Menurut masyarakat, makam kuno inilah yang dikeramatkan sejak zaman dahulu. Makam ini diperkirakan berusia 350—400 tahun. Adapun mengenai nama, sejarah, dan dari mana asalnya, tidak satu pun yang tahu, bahkan juru kuncinya pun tidak tahu. Sebagian kalangan menyebutkna bahwa makam ini adalah makam dari Syekh Maulana Yusuf al-Baghdi al-Maghribi. Kusamba, Habib Ali bin Abu Bakar bin Umar Al-Khamid Sewaktu hidupnya, Habib Ali bin Abu Bakar al-Hamid menjadi guru bahasa Melayu Raja Klungkung saat itu, Dalem I Dewa Agung Jambe. Waktu itu, beliau diberi seekor kuda untuk kendaraan pulang pergi antara Kusamba dan Klungkung. Seseh Mengwi, Pangeran Mas Sepuh, Syeh Achmad Chamdun Choirussoleh Raden Amangkurat atau Raden Mas Sepuh/Pangeran Mas Sepuh dengan gelar Syeikh Achmad Chamdiun Choirussaleh putra Raja Mengwi ke VII Cokorda I, ibunya dari Blambangan wilayah Banyuwangi, Jawa Timur. Pangeran Mas Sepuh masa kecil dalam asuhan ibunya dalam lingkungan Islam. Setelah dewasa ingin berbakti pada ayahnya tapi untuk menjalankan niatnya banyak ujian tapi tetap diterima dengan sabar hati dan tidak mudah dendam selalu memaafkan pada orang-orang yang menghambat perjalanannya. Pangeran Sosrodiningrat, dan Makam Ratu Ayu Anak Agung Rai, Dewi Khodijah, Pemecutan Makam keramat Pangeran Sosrodiningrat, menurut cerita versi ke-1 merupakan makam milik Pangeran Sosrodiningrat, suami Raden Ayu Siti Khotijah. Dia menikai Siti Khodijah karena telah berjasa membantu ayahandanya, Raja I Gusti Ngurah Gede Pamecutan, ketika berperang melawan Kerajaan Mengwi dan mendapat kemenangan.
SejarahIslam adalah sejarah agama Islam mulai turunnya wahyu pertama pada tahun 622 yang diturunkan kepada rasul yang terakhir yaitu Muhammad bin Abdullah di Nabi Muhammad kemudiannya menikah dengan Siti Khadijah ketika ia berusia 25 tahun. Ia pernah menjadi penggembala kambing. seminggu setelah Idul Fitri dan berziarah ke makamJika Anda berkunjung ke Kota Denpasar, Bali. Tepatnya di kawasan sekitar Jalan Gunung Batukaru, Pemecutan, Kec. Denpasar Barat Kota Denpasar, tentu Anda akan menemukan Situs berupa relik Islam yang cukup bersejarah. Yaitu Makam Keramat Agung Raden Ayu Siti Hadijah Pemecutan. Makam ini di samping sebagai salah satu situs Islam yang cukup terkenal di Bali namun juga merupakan bagian dari benda pusaka warisan Puri/Keraton Pemecutan Badung. Raden Ayu Siti Hadijah Pemecutan yang bernama asli Gusti Ayu Made Rai sebelum memeluk agama Islam adalah seorang wanita mu’allafah yang sangat taat beragama. Beliau mendapatkan pelajaran agama Islam langsung dari Sang Suami yang sangat dicintainya. Yaitu Raja Bangkalan Madura Cakraningrat IV. Dari sinilah beliau sempat mendapatkan anugerah kekeramatan dari Allah SWT. meskipun beliau selaku Putri Raja Bali yang berdarah biru ini, belum sempat mendapatkan keturunan dari suaminya Raja Madura itu. Karena ditakdirkan tutup usia di masa masih belum berapa lama hidup bersama suaminya di Keraton Bangkalan Madura. Raden Ayu Siti Hadijah adalah putri Raja Pemecutan Denpasar Bali sebagai Istri/Permaisuri keempat Raja Bangkalan Madura Cakraningrat IV di samping ada tiga istrinya yang hidup di Kraton Bangkalan Madura. Ada beberapa versi penulisan tentang sejarah dipersuntingnya Putri Raja Pemecutan Gusti Ayu Made Rai oleh Pangeran Cakraningrat IV Bangkalan Madura sebelum menjadi raja. Ada yang menulis peristiwa itu berhubungan dengan peperangan antara Puri Pemecutan dengan Puri Mengwi yang berhasil dimenangkan oleh Puri Pemecutan atas Jasa Pangeran Cakraningrat IV. Ada juga yang menulis bahwa hal itu berhubungan dengan sayembara yang diadakan oleh Raja Pemecutan. Saat itu dimenangkan oleh pangeran Cakraningrat IV dari Bangkalan Madura yang berhasil menyembuhkan penyakit kuning hepatitis yang diderita oleh Putri Raja Pemecutan itu. Menurut Jro Mangku Made Puger juru kunci Makam keramat Agung Pemecutan bahwa perkawinan antara Raden Ayu Siti Hadijah dengan Pangeran Cakraningrat IV itu memang berhubungan erat dengan Sayembara yang diadakan oleh Raja Pemecutan III yang bernama Kiai Arya Ngurah Pemecutan yang bergelar Ida Bhatara Maharaja Sakti. Kisah itu bermula dari keberadaan putri raja Pemecutan ini yang sangat cantik dan mempesona tersohor di beberapa Puri/Keraton di Bali dan menjadi perbincangan hangat di kalangan para pangeran. Tidak sedikit para pangeran dari kerajaan lain di Bali maupun di luar Bali yang mengincar untuk mempersunting putri raja Pemecutan ini karena kecantikannya dan merupakan putri Raja yang sangat disayanginya. Namun Sang Putri ini tanpa diduga sebelumnya ternyata terkena dan mengidap penyakit kuning hepatitis yang sulit disembuhkan. Bertahun-tahun penyakit itu diderita oleh Sang Putri Pemecutan namun tak dapat disembuhkan meski sejumlah Balian dukun telah dipanggil untuk mengobati putri kesayangan raja. Pada suatu saat, ayahnya yakni Sang Raja yang langsung melakukan tapa semedi sendiri untuk meminta petunjuk kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dalam rangka kesembuhan putrinya. Ternyata dalam tapa itu Sang Raja mendapat pawisik bisikan dari Yang Maha Kuasa agar beliau memerintahkan seluruh patih kerajaan untuk mempersiapkan pengumuman sayembara. Pengumuman sayembara itu dilakukan tak hanya di Bali, tetapi juga bagi kerajaan lain di luar Bali. Ada dua titah raja pada sayembara tersebut. Pertama, barang siapa yang dapat mengobati dan menyembuhkan penyakit anaknya, kalau dia perempuan akan diangkat menjadi anak angkat raja. Kedua, kalau dia laki-laki, jika memang jodohnya mau mengawininya akan dinikahkan dengan putrinya itu siapapun orangnya. Ternyata Sayembara itu terdengar sampai di kerajaan Mataram Yogyakarta sehingga salah seorang Guru spritual di keraton itu tertarik dengan sayembara itu lalu kemudian Sang Guru ini ingat dengan muridnya yakni seorang Pangeran yang berasal dari Bangkalan Madura. Dialah Cakraningrat IV yang memang diakuinya sebagai muridnya yang cukup memiliki ilmu tentang pengobatan di samping ilmu kanuragan yang tinggi. Saat itu juga muridnya ini dipanggil menghadap ke keraton Yogyakarta lalu sang guru memerintahkan berangkat ke Bali untuk mengikuti sayembara itu. Dengan dikawal sebanyak 40 orang pengawal dari keraton Yogyakarta, Pangeran dari Madura Cakraningrat IV ini berangkat berlayar menuju Pulau Bali hingga akhirnya sampai di Puri Pemecutan Denpasar. Pangeran Cakraningrat IV langsung menemui Raja Pemecutan dan mengutarakan maksud kedatangannya sesuai dengan isi sayembara yang dia dengar dari gurunya untuk mengobati penyakit tuan putri yang tengah sakit keras. Tidak berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam peraktek pengobatan yang dilakukan oleh Pangeran Cakraningrat IV terhadap Tuan Putri dengan izin Allah SWT. hingga akhirnya Tuan Putri sembuh total dari penyakit yang dideritanya sejak bertahun tahun lamanya. Di saat itulah Pangeran Cakraningrat IV terpesona dengan kecantikan putri kesayangan Raja Pemecutan ini hingga akhirnya Sang Putri dipersunting oleh Pangeran Cakraningrat IV dan sekaligus dibawa ke Madura dan tinggal di Keraton Bangkalan. Suatu hari, Raden Ayu Siti Khodijah meminta izin kepada suaminya, Pangeran Cakraningrat IV untuk pulang sebentar ke kampung halamannya di Bali. Beliau sangat rindu dengan ayah, ibu dan keluarga besarnya di Kerajaan Pemecutan. Pangeran Cakraningrat IV mengizinkan istri kesayangannya itu untuk berkunjung pulang ke kediaman orang tuanya di Bali. Beliau memerintahkan pengawal dan dayang-dayang keraton sebanyak 40 orang untuk mengawal Raden Ayu Siti Khodijah menuju Pulau Bali. Sebelum berangkat ke Bali, Pangeran Cakraningrat IV memberikan bekal kepada istrinya berupa benda pusaka antara lain, guci, keris dan pusaka cucuk konde yang diselipkan di rambut Raden Ayu Siti Khodijah. Dalam perjalanan Raden Ayu Siti Khodijah dari tanah Bangkalan menuju Bali yang berlangsung dalam beberapa hari. Sementara itu keluarga besar Kerajaan Pemecutan tengah mempersiapkan upacara Maligia. Sesampainya di Kerajaan/Puri Pemecutan, Raden Ayu Siti Khodijah dan rombongan disambut baik oleh keluarga besarnya di Kerajaan Pemecutan dan mereka saling melepas kerinduan. Beberapa hari berselang rombongan dari Madura Kerajaan Bangkalan ini berada di Keraton, suatu saat pada waktu Maghrib tiba, Raden Ayu Siti Khotijah sebagai seorang muslimah yang sholehah tentu bersegera untuk menunaikan sholat Maghrib di Merajan Istana, tempat suci bagi umat Hindu. Karena tidak ada tempat lain yang layak untuk ditempati bersembahyang Sholat. Seperti biasa, Raden Ayu Siti Khodijah waktu itu sedang mengenakan mukena putih dan menghadap ke arah Barat kiblat. Hal ini belum pernah terjadi di lingkungan kerajaan/puri hal seperti itu yang membuat kecurigaan keluarga kerajaan/ puri Pemecutan. Para patih kerajaan melihat Raden Ayu Siti Khotijah yang tengah menunaikan kewajibannya sebagai umat Muslim maka Patih kerajaan menganggap aneh cara sembahyang Raden Ayu Siti Khotijah. Sebaliknya, patih menduga Raden Ayu Siti Khodijah tengah mengeluarkan mantra ilmu hitam leak. Sontak ia melaporkan hal tersebut kepada Raja Pemecutan yang tak lain ayah Raden Ayu Siti Khotijah. Raja sangat marah mendapat laporan patihnya. Kemudian Raja memerintahkan agar Raden Ayu Siti Khodijah dibunuh saja karena sudah melakukan kesalahan yang tidak bisa diampuni. Oleh karena Raja salah paham menganggap bahwa putrinya itu telah membawa aib bagi keluarga Kerajaan sehingga Sang Raja harus menanggung malu yang sangat berat. Peristiwa ini terjadi akibat kesalahpahaman sang raja saja. Patih kerajaan akhirnya mengajak Raden Ayu Siti Khodijah ke depan Pura Kepuh Kembar. Raden Ayu Siti Khodijah sebelumnya mengaku telah memiliki firasat jika ia akan dibunuh. Maka, ia pun meninggalkan beberapa pesan kepada patih sebelum dihukum mati dan mengembuskan nafas terakhirnya. “Janganlah saya dibunuh dengan memakai senjata tajam karena itu tidak akan dapat membunuh saya. Pakailah cucuk konde saya ini yang telah disatukan dengan daun sirih dan diikat benang Tridatu benang tiga warna; putih, hitam dan merah. “Nanti lemparlah cucuk konde ini ke arah dada saya sebelah kiri. Apabila saya sudah meninggal, dari badan saya akan keluar asap. Bila asap yang keluar dari badan saya berbau busuk, silahkan paman patih tanam mayat saya sembarangan. Tapi, jika asap dari badan saya berbau harum, tolong buatkan saya tempat suci yang disebut keramat,” pesan Raden Ayu Siti Khodijah. Benar saja, begitu cucuk konde ditancapkan ke tubuhnya, saat itu keadaan Raden Ayu Siti Khodijah serta merta mengucur darah segar dari tubuhnya karena tusukan itu menghujam di tubuhnya dan tiba tiba jasadnya mengeluarkan asap dan aroma harum. Kejadian aneh ini lalu dilaporkan kepada raja. Namun apa yang terjadi ternyata Sang Raja sangat menyesali atas keputusannya itu, bahwa Putri kesayangannya yang telah tiada itu ternyata adalah seorang suci dan memiliki kekeramatan dari Tuhan. Petaka ini terjadi akibat kesalahpahaman sang Raja ayahandanya yang pada akhirnya mengundang penyesalan seumur hidupnya akibat titah itu. Meskipun sebelum wafat, Raden Ayu Siti Khodijah sendiri sempat berusaha membantah tuduhan tersebut. Akan tetapi alasan itu tidak ada satu pun pihak di lingkungan puri yang menyokongnya agar terbebas dari hukuman mati. Tapi apa mau dikata nasi sudah jadi bubur. Bahkan, terakhir dia juga sempat berwasiat jika nanti jenazahnya berbau harum maka minta dimakamkan layaknya orang Muslim dan berarti tidak bersalah. Namun jika jenazahnya tidak berbau busuk, maka silakan dibakar diaben. Saat itu, begitu jasad Raden Ayu Siti Khodijah dikebumikan, tiba tiba muncul dan tumbuh dengan sendirinya sebatang pohon setinggi kira-kira 50 sentimeter di atas bagian tengah makam beliau. Setiap kali dicabuti tetap saja tumbuh lagi sampai tiga kali pohon itu dicabuti tumbuh kembali. Akhirnya dibiarkan saja tumbuh. Pohon itu sampai hari ini masih tetap tumbuh meskipun telah hidup berabad abad lamanya semacam pohon abadi sebagai bukti kekeramatan putri Raja Pemecutan yang beragama Islam itu. Konon, pohon itu dipercayai tumbuh dari rambut jasad Almarhumah Raden Ayu Siti Khodijah hingga akhirnya dinamai pohon rambut atau taru rambut. Adapun Cakraningrat IV sendiri kini dimakamkan di Pemakaman Aer Mata Air Mata Desa Buduran, Kecamatan Arosbaya, Kabupaten Bangkalan. Sebelumnya jenazah Cakraningrat IV dimakamkan di Tanjung Harapan, Afsel, pada tahum 1745. Oleh karena Raja Cakraningrat IV ini pernah dibuang oleh penjajah Belanda ke Afrika Selatan karena keberaniannya melawan dan menentang penjajah Belanda dan meninggal di sana. Sedangkan pengawal dan dayang dayang sebanyak 40 orang yang mengawal Raden Ayu Siti Khodijah dari Madura ke Bali yang terdiri dari laki-laki dan perempuan yang sedang dirundung kesedihan dengan wafatnya tuan permaisuri. Oleh karena kasetiaan mereka kepada Permaisuri Rajanya yang telah meninggalkan mereka untuk selamanya dari peristiwa berdarah di Puri Pemecutan itu, terpaksa mereka tinggal di Bali dan tidak pernah kembali lagi ke Madura dan kemudian dihadiahi oleh Raja Pemecutan tempat tinggal suatu perkampungan pelungguhan untuk tinggal di situ yang kemudian sekarang dikenal dengan nama Kampung Muslim Kepaon Denpasar berjarak sekitar kilometer sebelah tenggara dari makam Keramat Agung Raden Ayu Siti Hadijah Pemecutan sebagai kampung komunitas Madura, Jawa dan Bugis di kota Denpasar sampai saat ini. Wallahu a’lam bi shawab. Oleh Drs. H. Bagenda Ali, Buku “Awal Mula Islam di Bali”Diamenjelaskan bahwa Siti Khadijah, Abu Thalib, dan Abdul Muthalib dimakamkan di Al-Ma'la. Hal ini dikarenakan pada saat itu Al-Ma'la memang menjadi tempat pemakaman pilihan masyarakat Mekah.
Satu-satunya makam Muslim di tengah pemakaman umat Hindu itu terletak di Desa Pemecutan, Kecamatan Denpasar Barat. Makam keturunan Raja Pemecutan itu d ikeramatkan oleh umat Hindu dan juga itu juga menjadi simbol bagaimana sebenarnya umat berbeda keyakinan bisa menyatu. Di sana, tidak pernah ada pengakuan bahwa umat Islam atau umat Hindu yang lebih berhak memelihara makam tersebut. Bahkan di makam itu mereka melebur dalam satu belanga dengan dua warna. Keberadaan makam Siti Khotijah menjadi salah satu alat pemersatu antara umat Muslim dengan Hindu yang merupakan agama mayoritas masyarakat di Pulau Makam Keramat Agung Pamecutan memang menyimpan sejuta misteri yang belum terungkap dengan jelas. Keberadaan makam keramat Putri Raja Badung hingga kini memunculkan tanda tanya seputar kematian sang puteri Pamecutan yang sejak jaman kerajaan Bali menjadi salah satu kerajaan yang di segani. Selain memiliki kekuatan serta pengaruh besar, juga kehadiran seorang Raja Madura, CAKRANINGRAT IV saat berlangsung pergolakan perebutan kekuasaan Kerajaan di Bali pada awal abad ke XVII. Raja Madura ini di kenal memiliki kharisma serta kekuatan yang di butuhkan kerajaan Badung. Kekuatan Kerajaan Badung atas bergabungnya Cakraningrat IV ternyata sanggup mengobarkan semangat berjuang Laskar Pamecutan memenangkan pertempuran antar kerajaan di I Cakraningrat IV Menangkan Sayembara RajaTersebutlah seorang raja di Puri Pemecutan yang bergelar I Gusti Ngurah Gede Pemecutan. Salah seorang putri beliau bernama Gusti Ayu Made Rai. Sang putri ketika menginjak dewasa di timpa penyakit keras dan menahun yakni sakit kuning. Berbagai upaya sudah di lakukan untuk menyembuhkan penyakit tersebut, namun tidak kunjung sembuh pula. Sang raja ketika itu mengheningkan bayu sabda dan idep, memohon kehadapan Hyang Kuasa, di merajan puri. Dari sana beliau mendapatkan pewisik bahwa Sang Raja hendaknya mengadakan sabda pandita ratu atau raja kemudian mengeluarkan sabda “barang siapa yang bisa menyembuhkan penyakit anak saya, kalau perempuan akan di angkat menjadi anak angkat raja. Kalau laki-laki, kalau memang jodohnya akan di nikahkan dengan putri raja”. Sabda Pandita Ratu tersebut kemudian menyebar ke seluruh jagat dan sampai ke daerah Jawa, yang di dengar oleh seorang syeh guru sepiritual dari Yogyakarta. Syeh ini mempunyai seorang murid kesayangan yang bernama Pangeran Cakraningrat IV dari Bangkalan Madura. Pangeran kemudian di panggil oleh gurunya, agar mengikuti sayembara tersebut ke puri Pemecutan Bali. Maka berangkatlah Pangeran Cakraningrat ke Bali di iringi oleh empat puluh orang ceritanya, Pangeran Cakraningrat mengikuti sayembara. Dalam sayembara ini banyak Panggeran atau Putra Raja yang ambil bagian dalam sayembara penyembuhan penyakit Raden Ayu. Putra-putra raja tersebut ada dari tanah jawa seperti Metaum Pura, Gegelang, ada dari Tanah Raja Banten dan tidak ketinggalan Putra-putra Raja dari Tanah Bali. Semua mengadu kewisesan atau kesaktiannya masing-masing dalam mengobati penyakit Raden Ayu. Segala kesaktian dalam pengobatan sudah di kerahkan seperti ilmu penangkal cetik, desti, ilmu teluh tranjana, ilmu santet, ilmu guna-guna, ilmu bebai, ilmu sihir, jadi semua sudah di keluarkan oleh para Pangeran atau Putra Raja, tidak mempan mengobati penyakit dan malah penyakit Raden Ayu semakin parah, sehingga raja Pemecutan betul-betul sedih dan panik bagaimana cara mengobati penyakit yang di derita putrinya. Dalam situasi yang sangat mecekam, tiba-tiba muncul seorang pemuda tampan yang tidak lain adalah Pangeran Pangeran melakukan sembah sujud kehadapan Raja Pemecutan dan mohon di ijinkan ikut sayembara. Raja Pemecutan sangat senang dan gembira menerima kedatangan Pangeran Cakraningrat IV dan mengijinkan mengikuti sayembara. Sang Pangeran minta supaya Raden Ayu d itempatkan di sebuah balai pesamuan Agung atau tempat paruman para Pembesar Kerajaan. Pangeran Cakraningrat mulai melakukan pengobatan dengan merapal mantra-mantra suci, telapak tangannya memancarkan cahaya putih kemudian berbentuk bulatan cahaya yang di arahkan langsung ke tubuh Raden Ayu. Sakit tuan putri dapat di sembuhkan secara total oleh Pangeran jodoh tak akan kemana, begitu pula yang terjadi antara Cakraningrat IV dengan Gusti Ayu Made Rai. Ternyata mereka saling mengagumi dan jatuh cinta saat pertama kali berjumpa. Cinta lokasi di Istan Puri Pamecutan pun terjadi saat proses penyembuhan di lakukan. Atas kesembuhan putrinya, Raja Badung memenuhi janjinya menikahkan kepada pemuda yang sanggup menyembuhkan putri Raja dari penyakit yang di derita. Persiapan pernikahan kedua insan berdarah ningrat inipun di gelar meriah di lingkungan Puri dengan janji sang raja, maka Gusti Ayu Made Rai di nikahkan dengan Pangeran Cakraningrat, ikut ke Bangkalan Madura. Gusti Made Rai pun kemudian mengikuti kepercayaan Sang Pangeran, berganti nama menjadi Raden Ayu Pemecutan alias Raden Ayu Siti II Misteri Terbunuhnya Sang Putri RajaBeberapa hari setelah Gusti Ayu Made Rai pulih, Raja mengundang Cakraningrat IV berbincang serius dengan raja. Ternyata, Raja sudah merencanakan pernikahan mereka. Meskipun Cakraningrat IV adalah seorang muslim, Raja tidak mempermasalahkannya dan tetap memenuhi janji nya. Setelah resmi menikah, Cakraningrat beserta istrinya Gusti Made Ayu Rai yang telah berganti nama menjadi Raden Ayu SitiKhotijah atau Raden Ayu Pamecutan untuk kembali ke Bangkalan untuk dipertemukan dengan keluarga besar Cakraningrat IV di kerajaan Madura Barat. Tentunya kehadiran Siti Khotijah di lingkungan keluarga besar Cakraningrat IV di sambut baik. Apalagi sosok Siti Khotijah yang seorang putri Raja Badung memang sangat santun, taat beribadah dan tentunya memiliki kecantikan yang luar Cakraningrat IV, kedudukannya sebagai seorang Raja Bangkalan, titak memungkinkannya untuk meninggalkan takhta kerajaan serta tugas-tugasnya sebagai saat bersamaan dan setelah sekian lama di Madura, Raden Ayu merindukan kampung halamannya di Pemecutan dan meminta izin kepada suaminya untuk menghadap sang ayah di Bali. Cakraningrat IV mengizinkan Raden Ayu untuk pulang ke Balibeserta 40 orang pegiring dan pengawal. Cakraningrat IV memberikan bekal berupa guci, keris dan sebuah pusaka berbentuk tusuk konde yang di selipkan di rambut sang di kerajaan Pamecutan, Siti Khotijah di sambut dengan riang gembira. Namun, kala itu tidak ada yang mengetahui bahwa sang putri telah memeluk agama Isalam menjadi seorang muallaf. Raden Ayu Pamecutan di tempatkan di Taman Istana Monang -Maning Denpasar dengan para hari ketika ada suatu upacara Meligia atau Nyekah yaitu upacara Atma Wedana yang di lanjutkan dengan Ngelingihan Menyetanakan Betara Hyang di Pemerajan tempat suci keluarga Puri Pemecutan, Raden Ayu Pemecutan berkunjung ke Puri tempat kelahirannya. Pada suatu hari saat sandikala menjelang petang di Puri, Raden Ayu Pemecutan alias Raden Ayu Siti Kotijah menjalankan persembahyangan ibadah sholat maghrib di Merajan Puri dengan menggunakan Mukena Krudung. Ketika itu salah seorang Patih di Puri melihat hal tersebut. Para patih dan pengawal kerajaan tidak menyadari bahwa Puri telah memeluk islam dan sedang melakukan ibadah sholat. Menurut kepercayaan di Bali, bila seseorang mengenakan pakaian atau jubah serba putih, itu adalah pertanda sedang melepas atau melakukan ritual ilmua hitam Leak. Hal tersebut di anggap aneh dan di katakan sebagai penganut aliran ilmu ketidaktahuan pengawal istana, keanehan’ yang di saksikan di halaman istana membuat pengawal dan patih kerajaan menjadi geram dan melaporakan hal tersebut kepada Raja. Mendengar laporan Ki Patih tersebut, Sang Raja menjadi murka. Ki Patih di perintahkan kemudian untuk membunuh Raden Ayu Siti Khotijah. Raden Ayu Siti Khotijah di bawa ke kuburan areal pemakaman yang luasnya 9 Ha. Sesampai di depan Pura Kepuh Kembar, Raden Ayu berkata kepada patih dan pengiringnya “aku sudah punya firasat sebelumnya mengenai hal ini. Karena ini adalah perintah raja, maka laksanakanlah. Dan perlu kau ketahui bahwa aku ketika itu sedang sholat atau sembahyang menurut kepercayaan Islam, tidak ada maksud jahat apalagi ngeleak.” Demikian kata Siti Ayu berpesan kepada Sang patih “jangan aku di bunuh dengan menggunakan senjata tajam, karena senjata tajam tak akan membunuhku. Bunuhlah aku dengan menggunakan tusuk konde yang di ikat dengan daun sirih serta di lilitkan dengan benang tiga warna, merah, putih dan hitam Tri Datu, tusukkan ke dadaku. Apabila aku sudah mati, maka dari badanku akan keluar asap. Apabila asap tersebut berbau busuk, maka tanamlah aku. Tetapi apabila mengeluarkan bau yang harum, maka buatkanlah aku tempat suci yang di sebut kramat”.Setelah meninggalnya Raden Ayu, bahwa memang betul dari badanya keluar asap dan ternyata bau yang keluar sangatlah harum. Peristiwa itu sangat mengejutkan para patih dan pengawal. Perasaan dari para patih dan pengiringnya menjadi tak menentu, ada yang menangis. Sang raja menjadi sangat menyesal dengan keputusan belia . Jenasah Raden Ayu di makamkan di tempat tersebut serta di buatkan tempat suci yang di sebut kramat, sesuai dengan permintaan beliau menjelang di bunuh. Untuk merawat makam kramat tersebut, di tunjuklah Gede Sedahan Gelogor yang saat itu menjadi kepala urusan istana di Puri Pemecutan.
Saatitu, begitu jasad Raden Ayu Siti Khodijah dikebumikan, tiba tiba muncul dan tumbuh dengan sendirinya sebatang pohon setinggi kira-kira 50 sentimeter di atas bagian tengah makam beliau. Setiap kali dicabuti tetap saja tumbuh lagi sampai tiga kali pohon itu dicabuti tumbuh kembali. Akhirnya dibiarkan saja tumbuh.Setelah memeluk agama Islam, Raden Ayu Siti Khotijah rajin menunaikan kewajiban agama. Sholat lima waktu tak pernah ditinggalkannya. Dream - Raja Pemecutan Denpasar memiliki seorang putri cantik yang amat disayangnya. Putri Raja Pemecutan bernama Gusti Ayu Made Rai. Raja Pemecutan begitu menyayanginya. Kecantikannya tersohor se-Bali. Sehingga tak sedikit pangeran dari kerajaan lain yang ingin mempersunting Gusti Ayu Made Rai. Saat beranjak remaja, musibah menimpa Gusti Ayu Made Rai. Ia terkena penyakit kuning liver. Bertahun-tahun penyakit itu tak dapat disembuhkan meski sejumlah Balian dukun telah dipanggil untuk mengobati putri kesayangan raja. Pada suatu saat, ayah Gusti Ayu Made Rai melakukan tapa semedi untuk meminta petunjuk Tuhan Yang Maha Esa untuk kesembuhan putrinya. " Ayah Gusti Ayu Made Rai mendapat pawisik bisikan dari Yang Maha Kuasa agar beliau memerintahkan seluruh patih kerajaan untuk mempersiapkan pengumuman sayembara," kata Jro Mangku I Made Puger, juru kunci makam Raden Ayu Pemecutan alias Raden Ayu Siti Khotijah saat ditemui Senin 6 Juni 2016. © Dream Pengumuman sayembara itu dilakukan tak hanya di Bali, tetapi juga bagi kerajaan lain di luar Bali. Ada dua titah raja pada sayembara tersebut. Pertama, barang siapa yang dapat mengobati dan menyembuhkan penyakit anaknya, kalau dia perempuan akan diangkat menjadi anak angkat raja. Kedua, kalau dia laki-laki, jika memang jodohnya akan dinikahkan. " Sabda sayembara Raja Pemecutan didengar oleh ulama dari Yogyakarta. Ulama ini memiliki ilmu kebatinan tinggi dan memiliki anak didik kesayangan dari Bangkalan, Madura bernama Pangeran Cakraningrat IV," tutur Jro Mangku. Ulama dari Yogyakarta itu memanggil Pangeran Cakraningrat IV untuk datang ke Yogyakarta. Setelah menghadap, sang ulama memerintahkan agar Pangeran Cakraningrat IV pergi ke tanah Bali untuk menemui Raja Pemecutan Badung. Singkat cerita, Pangeran Cakraningrat IV berangkat ke Bali ditemani oleh 40 orang prajurit. Sesampainya di Kerajaan Pemecutan, Pangeran Cakraningrat IV langsung menemui Raja Pemecutan dan mengutarakan maksud untuk mengobati tuan putri yang tengah sakit keras. © Dream " Pada saat pertemuan pertama dan bertatap mata antara Pangeran Cakraningkrat IV dan Gusti Ayu Made Rai, beliau berdua sudah jatuh cinta," ucap Jro Mangku. Selanjutnya, Pangeran Cakraningkrat IV membacakan mantra untuk menyembuhkan penyakit tuan putri. Pangeran Cakraningrat IV berhasil menyembuhkan putri kesayangan raja. Sesuai janji raja, keduanya pun dinikahkan. Bukan karena janji semata, pernikahan itu memang dilandasi cinta oleh Pangeran Caraningkrat IV dan Gusti Ayu Made Rai. Beberapa saat setelah menikah, Pangeran Cakraningrat IV mohon pamit kembali ke Bangkalan, Madura. Gusti Ayu Made Rai yang telah sah menjadi istrinya diajak ikut serta. Di Bangkalan, Madura, kedua mempelai diupacarai secara Islami. Gusti Ayu Made Rai menjadi muallaf pemeluk agama Islam. Nama beliau diubah menjadi Raden Ayu Siti Khotijah alias Raden Ayu Pemecutan. Setelah memeluk agama Islam, Raden Ayu Siti Khotijah rajin menunaikan kewajiban agama. Sholat lima waktu tak pernah ditinggalkan oleh istri keempat Pangeran Cakraningrat IV itu. Suatu hari, Raden Ayu Siti Khotijah meminta izin kepada suaminya, Pangeran Cakraningrat IV untuk pulang sebentar ke kampung halamannya di Bali. " Beliau rindu dengan ayah, ibu dan keluarga besar Kerajaan Pemecutan. Pangeran Cakraningrat IV mengizinkan beliau pulang ke Bali. Beliau memerintahkan pengawal dan dayang-dayang sebanyak 40 orang untuk mengawal Raden Ayu Siti Khotijah," kata Jro Mangku. Sebelum pergi ke Bali, Pangeran Cakraningrat IV memberikan bekal kepada istrinya berupa guci, keris dan pusaka yang diselipkan di rambut Raden Ayu Siti Khotijah. Dalam perjalanan Raden Ayu Siti Khotijah dari tanah Bangkalan menuju Bali, keluarga besar Kerajaan Pemecutan tengah mempersiapkan upacara Maligia. Sesampainya di Kerajaan Pemecutan, Raden Ayu Siti Khotijah dan rombongan disambut baik oleh keluarga besarnya. Saat Maghrib tiba, Raden Ayu Siti Khotijah menunaikan sholat di Merajan Istana, tempat suci bagi umat Hindu. Seperti biasa, Raden Ayu Siti Khotijah mengenakan mukena putih dan menghadap ke arah barat. Patih kerajaan melihat Raden Ayu Siti Khotijah tengah menunaikan kewajibannya sebagai umat Muslim. Patih kerajaan menganggap aneh cara sembahyang Raden Ayu Siti Khotijah. Sebaliknya, patih menduga Raden Ayu Siti Khotijah tengah mengeluarkan mantra ilmu hitam leak. Sontak ia melaporkan hal tersebut kepada Raja Pemecutan yang tak lain ayah Raden Ayu Siti Khotijah. Raja sangat marah mendapat laporan patih. Raja memerintahkan agar Raden Ayu Siti Khotijah dibunuh. © Dream Patih mengajak Raden Ayu Siti Khotijah ke depan Pura Kepuh Kembar. Raden Ayu Siti Khotijah mengaku telah memiliki firasat jika ia akan dibunuh. Maka, ia pun meninggalkan pesan kepada patih sebelum mengembuskan napas terakhir. " Janganlah saya dibunuh dengan memakai senjata tajam karena itu tidak akan dapat membunuh saya. Pakailah cucuk konde saya ini yang telah disatukan dengan daun sirih dan diikat benang Tridatu benang tiga warna; putih, hitam dan merah," kata Jro Mangku. " Nanti lemparlah cucuk konde ini ke arah dada saya sebelah kiri. Apabila saya sudah meninggal, dari badan saya akan keluar asap. Bila asap yang keluar dari badan saya berbau busuk, silahkan paman patih tanam mayat saya sembarangan. Tapi, jika asap dari badan saya berbau harum, tolong buatkan saya tempat suci yang disebut keramat," pesan Raden Ayu Siti Khotijah. Benar saja, begitu cucuk konde ditancapkan, dari tubuh Raden Ayu Siti Khotijah mengeluarkan asap dan aroma harum. " Kejadian ini dilaporkan kepada raja. Raja sangat menyesal atas keputusannya," tuturnya. Saat itu, begitu jasad Raden Ayu Siti Khotijah dikebumikan, tumbuhlah sebatang pohon setinggi 50 sentimeter di tengah makam beliau. Dicabuti sampai tiga kali pohon itu tumbuh kembali. " Kakek dan nenek saya yang saat itu ditugaskan menjadi juru kunci akhirnya bersemedi. Raden Ayu Siti Khotijah berpesan agar pohon yang tumbuh di tengah makam dipelihara dengan baik karena pohon ini tumbuh dari rambut beliau. Melalui pohon ini Allah SWT memberi mukjizat dan rezeki kepada umat yang berziarah," katanya. Hingga kini, pohon tersebut terus menjulang tinggi dan diberi nama pohon rambut atau taru rambut. Tiap harinya, selalu ramai umat Islam berkunjung ke makam Raden Ayu Siti Khotijah. Apalagi menjelang Ramadan seperti saat ini, sudah barang tentu ramai peziarah. Laporan Berry Putra, Bali Baca Juga Jalur Kereta Api Ini Menyimpan Kisah Pilu Muslim Desak Hagia Sophia Dibuka untuk Sholat Ramadan Unik di Saudi, dari Meriam hingga THR Gratis Lezatnya Menu Berbuka Puasa Khas dari Berbagai Negara Traveling Saat Ramadan? Wajib Perhatikan Hal Ini
KerajaanBali : Sejarah, Penyebab Keruntuhan, Raja, Peninggalan. Mengenal Nama-nama Wali Pitu, 'Wali Songo' Penyebar Agama Islam di Bali, Ada Yang Jadi Murid Sunan Gunung Jati - Kabar Lumajang. Jika di Jawa ada Wali Songo, Ternyata di Bali ada Wali Pitu, ini Daftar Alamatnya. Spirit Dakwah Kultural Ala Wali Songo.Kuningan merupakan salah satu sentra bisnis kota metropolitan Jakarta yang letaknya berdekatan dengan tiga aliran sungai yaitu Kali Cideng, Kali Ciliwung, dan Kali Krukut. Terdapatnya beberapa versi yang beredar di masyarakat tentang asal mula nama Kuningan salah satunya mengarah pada riwayat seorang sosok yaitu Adipati Awangga yang merupakan gelar kehormatan bagi Pangeran Kuningan. Penelitian dilakukan untuk mengetahui jejak peradaban dan asal-usul wilayah Kuningan dengan beberapa kemungkinan yang bersinggungan seperti keberadaan makam dan masjid tua Al-Mubarok di kompleks Museum Satria Mandala saat ini. Pada penulisan makalah dilakukan dugaan alur sejarah yang dianalisis dari posisi penugasan, pembagian wilayah dan silsilah Pangeran Kuningan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan yaitu heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Berdasarkan pahatan pada prasasti nisan makam, Pangeran Kuningan dilahirkan pada tahun 1449 dan wafat saat berusia 130 tahun pada 1579. Menurut silsilah yang dapat dilacak, ada tiga versi arah genealogis dari Pangeran Kuningan. Kata Kuningan sendiri dalam tata bahasa Jawa dapat diartikan sesuatu dari hal yang berwarna Kuning atau berasal dari wilayah, bangsa dan aktivitas tertentu yang mengarah ke sesuatu berwarna Kuning. Cerita Kuningan pada versi lain sebagai toponimi merujuk pada tempat tinggal yang dihuni oleh orang-orang dari daerah Kuningan, Jawa Barat dengan profesi buruh berkeahlian di bidang pertukangan bangunan. Merujuk pada tradisi lisan yang diyakini, masjid dalam lingkungan Museum Satria Mandala sekarang dibangun pada tahun 1527 yang apabila dapat diverifikasi kebenarannya maka masjid tersebut merupakan salah satu masjid tertua yang ada di Jakarta dilengkapi bukti lain berupa keberadaan makam Pangeran Kuningan sendiri. Terakhir, menurut keterangan narasumber yaitu seorang warga yang pernah tinggal di kawasan Kuningan sejak lama, dahulu di kawasan Kuningan banyak warga memiliki peternakan sapi, dan memasuki tahun 1990-2000an pembangunan gedung-gedung bertingkat dan pembukaan kawasan Mega Kuningan menyebabkan peternakan-peternakan sapi warga hilang akibat dari kurangnya lahan untuk memenuhi kebutuhan pangan hewan ternak.FJsc.